TOKOH_TOKOH Kebanggan Bangsa

Rabu, 12 Oktober 2011

KH Ahmad Dahlan (1868-1923)

Pendiri Muhammadiyah

Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy), adalah pelopor dan bapak pembaharuan Islam. Kyai Haji kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus 1868, inilah yang mendirikan organisasi Muhammadiyah, 18 November 1912. Pahlawan Nasional ini wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923.

Mohammad Natsir (1908-1993)

Perjuangkan Islam Dasar Negara

Mohammad Natsir, politisi Islam handal yang teguh pada prinsip dan cita-cita. Pria kelahiran Alahan Panjang, Sumbar, 17 Juli 1908, ini memimpin Partai Masyumi, yang merupakan gabungan partai-partai Islam di Konstituante, yang secara sungguh-sungguh memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
KH Wahid Hasjim (1914-1953)

Menteri Agama Tiga Kabinet

KH Wahid Hasjim adalah pahlawan nasional, salah seorang anggota BPUPKI dan perumus Pancasila. Putera KH M Hasyim Asy’ari, pendiri NU, ini lahir di Jombang, 1 Juni 1914 dan wafat di Cimahi, 19 April 1953. Ayahanda Gus Dur ini menjabat Menteri Agama tiga kabinet (Kabinet Hatta, Natsir dan Sukiman).
 Amir Hamzah, Tengku (1911-1946)

Sastrawan Pujangga Baru

Lahir sebagai seorang manusia penyair, 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Sumut. Sastrawan Pujangga Baru ini dianugerahi Pahlawan Nasional. Keluarga kesultanan Langkat, bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Indera Putera, ini wafat di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 akibat revolusi sosial.

Sutan Syahrir (1909-1966)

Perdana Menteri Indonesia Pertama

Perdana Menteri RI Pertama (14 November 1945 hingga 20 Juni 1947). Pria kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909, ini seorang politikus yang mendirikan Partai Sosialis Indonesia (1948). Ia wafat di pengasingan sebagai tawanan politik (Zürich, Swiss, 9 April 1966) pada usia 57 tahun.
 Halim Perdana Kusuma (1922-1947)

Gugur Saat Bertugas

Halim Perdanakusuma seorang pahlawan Indonesia. Pria kelahiran Sampang, 18 November 1922, ini gugur di Malaysia, 14 Desember 1947 dalam usia 25 tahun saat menjalankan tugas semasa perang Indonesia-Belanda di Sumatera. Ia ditugaskan membeli perlengkapan senjata dengan pesawat terbang dari Thailand.

Tuan MH Manullang (1887-1979)

Pejuang Pers dan Kemerdekaan

Digelari Tuan Manullang, seorang jurnalis pejuang perintis pers dan kemerdekaan. Saat berusia 19 tahun telah menerbitkan koran Binsar Sinondang Batak (1906). Juga menerbitkan koran Soara Batak (1919-1930) untuk menentang penindasan Belanda. Akibat tulisannya, ia dipenjara di Cipinang.

Ir H Djuanda Kartawidjaja (1911-1963)

Pendeklarasi Negara Kepulauan

Perdana Menteri Ir H Djuanda Kartawidjaja, pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan bahwa Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Maka sangat bijak ketika hari Deklarasi Djuanda itu kemudian melalui Keppres No.126/2001 dikukuhkan sebagai Hari Nusantara.

HR Rasuna Said (1910-1965)

Orator, Srikandi Kemerdekaan

HR Rasuna Said (Hajjah Rangkayo Rasuna Said) seorang orator, pejuang (srikandi) kemerdekaan Indonesia. Pahlawan nasional Indonesia ini lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 September 1910 dan wafat di Jakarta, 2 November 1965 dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Sutoyo Siswomiharjo (1922-1965)

Gugur Dianiaya G-30-S/PKI

Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi. Mantan IRKEHAD kelahiran Kebumen, 23 Agustus 1922, ini gugur di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 sebagai korban dalam peristiwa Gerakan 30 September/PKI. Ayahanda Letjen TNI Agus Widjojo ini dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
 Achmad Yani (1922-1965)

Jenderal Anti Komunis

Jenderal Anumerta Achmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) atau yang sekarang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.

Yos Sudarso (1925-1962)

Gugur di Atas KRI Macan Tutul

Pahlawan Nasional Laksamana Madya Yosaphat Sudarso, yang lebih dikenal dengan panggilan Yos Sudarso, kelahiran Salatiga, 24 November 1925, gugur dalam pertempuran di atas KRI Macan Tutul dalam pertempuran Laut Aru 15 Januari 1962 pada masa kampanye Trikora. Namanya kini diabadikan pada sebuah KRI dan pulau.

Usman dan Harun (1943-1968)

Pahlawan Nasional Korps Marinir

Inilah kisah dua patriot Indonesia dari Korps Marinir (KKO) yang dihukum gantung di Singapura, 17 Oktober 1968. Sersan Anumerta KKO Usman alias Janatin bin Haji Muhammad Ali dan Kopral Anumerta KKO Harun alias Tohir bin Mandar. Mereka pahlawan bangsa yang pamrih menyabung nyawa dalam tugas pengabdiannya demi kepentingan bangsa dan negara.

Hasyim Asy'ari, KH (1875-1947)

Ulama Pembaharu Pesantren

Hasyim Asy'ari, KH (1875-1947)Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)

Pejuang Kemajuan Wanita

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Enam Putra Terbaik

Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Jakarta 10/11/2004: Gelar pahlawan nasional dianugerahkan kepada enam putra terbaik bangsa, yakni Maskoen Soemadiredja, Andi Mappanyukki, Raja Ali Haji, KH. Achmad Ri'fai, Gatot Mangkoepradja dan Ismail Marzuki. Presiden Yudhoyono menganugerahkan dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan 10 November 2004

Ismail Marzuki (1914-1958)

Komponis Pejuang Legendaris

Ismail MarzukiKomponis pejuang dan maestro musik legendaris ini dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI, dalam rangkaian Hari Pahlawan 10 November 2004 di Istana Negara. Dia dikenal sebagai pejuang dan tokoh seniman pencipta lagu bernuansa perjuangan yang dapat mendorong semangat membela kemerdekaan.

Proklamator Soekarno (1901-1970)

Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Proklamator SoekarnoSoekarno (Bung Karno) Presiden Pertama RI, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: "Go to hell with your aid." Persetan dengan bantuanmu. Pemimpin Besar Revolusi ini berhasil menggelorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.

Abdul Muis (1883-1959)

Melawan Belanda dengan Pena

Abdul MuisPerlawanan terhadap penjajahan Belanda dilakukannya tanpa putus-putus dengan berbagai cara. Dengan ‘pena’-nya yang tajam, partai politik, komite perlawanan orang pribumi, bahkan memimpin mogok kerja. Sebagai seorang wartawan, tulisan Abdul Muis merupakan tulisan perlawanan terhadap Belanda.

Mayor Jenderal D.I. Panjaitan (1925-1965)

Pembongkar Rahasia Konspirasi PKI - RRC

Mayjen D.I. Panjaitan Keberhasilan Mayor Jenderal Anumerta DI Panjaitan membongkar rahasia kiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk Partai Komunis Indonesia (PKI) serta penolakannya terhadap rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani, membuat dirinya masuk daftar salah satu perwira Angkatan Darat yang dimusuhi oleh PKI.

Jenderal Sudirman (1916-1950)

Panglima dan Jenderal I RI

Jenderal SudirmanJenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatarbelakang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.

Raja Si Singamangaraja XII (1849-1907)

Menolak Dinobatkan Jadi Sultan

Raja Si Singamangaraja XIIDia seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat.

Wage Rudolf Supratman (1903–1938)

Penggubah Lagu Indonesia Raya

Wage Rudolf SupratmanTingginya jiwa kebangsaan menuntunnya membuahkan karya bernilai tinggi yang telah menjadi pembangkit semangat perjuangan pergerakan nasional. Semangat kebangsaan dan kehendak untuk merdeka dalam jiwanya dituangkan dalam lagu gubahannya Indonesia Raya, yang kemudian menjadi lagu kebangsaan negeri ini.

Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

Bapak Pendidikan Nasional

Ki Hajar DewantaraPendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sungtulada. Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.

Wahidin Sudirohusodo (1852-1917)

Penggagas Budi Utomo

Wahidin SudirohusodoKendati ia tidak termasuk pendiri Budi Utomo, namanya selalu dikaitkan dengan organisasi kebangkitan nasional itu. Sebab, sesungguhnya dialah penggagas berdirinya organisasi itu. Pahlawan Nasional ini lahir di desa Mlati, Yogyakarta, pada tanggal 7 Januari 1852. Ia wafat dada tanggal 26 Mei 1917 dan dimakamkan di desa Mlati, Yogyakarta.

 








Copyright © 2002-2011 Ensiklopedi Tokoh Indonesia - TokohIndonesia.com. All right reserved. Penerbit pt AsasirA. Maintenance by Esero

Guru 45 Tahun, Tanpa Tanda Jasa

 
 






  Foto 17 November 2007  
  ► e-ti/mlp  
  Nama:
St Gr Tumpak Hasiholan Simanullang
Gelar:
Ompu Mangatur Doli
Lahir:
Saitnihuta, Doloksanggul, 2 Maret 1928
Meninggal:
Doloksanggul, 17 Januari 2008
Agama:
Kristen Protestan
Profesi:
Guru

Isteri:
Ame Nurianna br Situmorang(Ompu Mangatur Boru, lahir 2 Juni 1930, menikah 1950)
Anak:
- Rospita br Simanullang/Tobing (1 putera, 6 putri, 2 menantu)
- Ch Robinson Binsar Halomoan Simanullang/Br Purba (3 putera, 2 menantu)
- Osman Simanullang/Br Sihombing (1 putera, 2 puteri)
- Sinta Mariaty br Simanullang/Sihombing (2 putera, 2 puteri)
- Oloan Simanullang, meninggal usia 5 tahun
- Parulian Simanullang/Br Siregar (2 putera, 3 puteri)
- Wilson Edward Simanullang/Br Silitonga (1 putera)
- Linda br Simanullang/Lbn Gaol (2 putera, 1 puteri)
- Nuraya br Simanullang/Manalu (4 putera, 2 puteri)
- Tagor Butti Simanullang/Br Siregar (1 puteri)
- Rita br Simanullang/Matondang (sebelumnya menikah dengan Situmorang tapi bercerai), (2 putera, 2 puteri)
- Ade Maranatha Simanullang, meninggal dalam usia 2 tahun
- Hotsan Bantu Simanullang (putera adiknya Djaumar Simanullang/Br Situmorang, yang diasuh sejak kecil)

Ayah:
Raja Kores Simanullang (Ompu Robinson Binsar Halomoan Doli, meninggal 1959)
Ibu:
Sofiana br Purba (Ompu Robinson Binsar Halomoan Boru, meninggal 1980)

Pendidikan:
- KGC, Seminari Sipoholon, 1947
- SGA 1958

Karir:
- Guru Sekolah Rakyat Simanullang Toba, Matiti, Dolok Sanggul, 1946-1963
- Kepala Sekolah Dasar Negeri Sosor Tambok, Onan Ganjang, 1963-1967
Kepala Sekolah Dasar Negeri 2 Simanullang Toba, Pearaja Matiti, Dolok Sanggul 1967-1991

Kegiatan Lain:
- Penetua Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Hutagurgur, Doloksanggul, 1957-1972
- Penetua Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hutagurgur, Doloksanggul, 1972-1978
- Guru Huria (Gembala Sidang) Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hutagurgur, Doloksanggul, 1978-1995
- Penetua Senior Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hutagurgur, Doloksanggul, 1995-2008

***

Ende (Kidung) keluarga saat pelepasan Ompu Mangatur Doli ke Rumah Bapa di Sorga

Sai Solhot tu SilangMi

Ende 449; Logu 300; 6/8; 1=F ; FH 72

1 =
Sai solhot tu silangMi,
Jesus ingananku.
Mual na mabaor disi,
i ma inumonku.
Ref: SilangMi, Tuhanki
i ma pujionku.
Paima sogot sahat ahu,
i endehononku.
2 =
Lao ma au tu silangMi,
i haporusanku.
Sai asi ma rohaMi,
unang tulak ahu.
Ref: SilangMi….
3 =
Domu ma tu silangMi,
i ma tioponku.
Asa unang lilu ahu,
Ho ihuthononku.
Ref: SilangMi….
4 =
Laos maniop silangMi,
sai paimaonku.
GokhonMi tu surgo i,
tu siteanonku.
Ref: SilangMi….


Pada Kaki SalibMu

KJ 368; 6/8; 1=F

1=
Pada kaki salibMu,
Yesus, ku berlindung.
Air hayat Golgota,
pancaran yang agung.
Ref: SalibMu, SalibMu,
yang kumuliakan.
Hingga dalam sorga klak
ada perhentian.
2=
Pada kaki salibMu,
kasihMu kut’rima.
Sinar bintang fajar trang,
yang membri cahaya.
Ref: SalibMu…
3=
Pada kaki salibMu,
kuingat kurbanMu.
Dalam jalan hidupku,
kukenang selalu.
Ref: SalibMu…
4 =
Pada kaki salibMu,
kutetap percaya.
Hingga dalam sorga klak,
jiwaku bahagia.
Ref: SalibMu…

 
 
     

Guru 45 Tahun, Tanpa Tanda Jasa

TH SIMANULLANG HOME
► Selamat datang di situs gudang pengalaman ENSIKONESIA (ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA) ► Thank you for visiting the experience site  ► NANTIKAN TAMPILAN BARU TOKOHINDONESIA.COM  ► Biografi Jurnalistik   ► The Excellent Biography  ► Database Tokoh Indonesia terlengkap yang tengah dikembangkan menjadi Ensiklopedi Tokoh Indonesia online  ► Anda seorang tokoh? Sudahkah Anda punya "rumah pribadi" di Plasa Web Tokoh Indonesia?  ► Silakan kirimkan biografi Anda ke Redaksi Tokoh Indonesia ► Dapatkan Majalah Tokoh Indonesia di Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Gunung Mulia, Drug Store Hotel-Office & Mall dan Agen-Agen atau Bagian Sirkulasi Rp.14.000 Luar Jabotabek Rp.15.000 atau Berlangganan Rp.160.0000 (12 Edisi) ► Segenap Crew Tokoh Indonesia Mengucapkan Selamat Ulang Tahun Kepada Para Tokoh Indonesia yang berulang tahun hari ini. Semoga Selalu Sukses dan Panjang Umur ►
St Gr Tumpak Hasiholan Simanullang (1928-2008)

Guru 45 Tahun, Tanpa Tanda Jasa


Pahlawan tanpa tanda jasa. Hanya penghargaan ini juga yang diberikan kepada St Gr Tumpak Hasiholan Simanullang, yang telah mengabdikan hidupnya selama 45 tahun aktif sebagai guru. Mulai mengajar sejak berusia 18 tahun (1946) di SR Simanullang Toba, Matiti, Doloksanggul, Sumut hingga pensiun sebagai Kepala SDN Simanullang Toba 2 tahun 1991. Pria yang pernah bangkit dari kematian ini juga aktif melayani sebagai penetua dan gembala sidang di gereja selama 51 tahun.

Dia seorang guru yang sangat mengasihi murid-muridnya. Seorang guru yang tidak pernah menghukum muridnya dengan kekerasan. Beberapa muridnya ada yang seusia dengannya. Maklum kala itu, masih ada anak berusia belasan tahun baru berkesempatan masuk sekolah rakyat (Sekolah Dasar). Sementara dia sendiri sudah menjadi guru pada usia 18 tahun, setelah menamatkan SGB.

Tahun 1946 dia sudah mulai mengajar di Sekolah Rakyat (SR) Simanullang Toba, Matiti, Doloksanggul, Sumut, satu-satunya SR di wilayah itu kala itu. Tiga tahun berikutnya, dia diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Namun dalam pencatatan di SK pengangkatannya tercantum tanggal lahirnya 2 Maret 1931 dari seharusnya 2 Maret 1928. Itu sebabnya dia baru pensiun pada tahun 1991.

Selama karirnya sebagai guru, dia hanya bertugas di tiga tempat. Yakni, Guru Sekolah Rakyat Simanullang Toba, Matiti, Dolok Sanggul, 1946-1963; Kepala Sekolah Dasar Negeri Sosor Tambok, Onan Ganjang, 1963-1967; dan Kepala Sekolah Dasar Negeri 2 Simanullang Toba, Pearaja Matiti, Dolok Sanggul 1967-1991. Dia ikut merintis berdirinya sekolah dasar di Sosortambok, Kecamatan Onan Ganjang serta di Desa Pearaja Matiti, dan Desa Hutagurgur, Kecamatan Doloksanggul. Dialah kepala SDN pertama di SDN Sosortambok dan SDN Simanullang Toba 2, Pearaja Matiti. Sampai pensiun (1991), dia dipertahankan mengabdi di SDN Simanullang Toba 2 ini, atas permintaan masyarakat setempat.

Gembala Sidang
Pria yang disapa akrab para sahabatnya, Guru Tumpak, yang pada usia lima tahun pernah meninggal selama kl 18 jam tapi bangkit kembali dari kematian, itu juga mengabdikan diri dalam pelayanan di gereja selama 51 tahun. Mulai aktif sebagai penetua sejak tahun 1957 di gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Hutagurgur, Doloksanggul, hingga 1972. Kemudian menjadi penetua di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hutagurgur, Doloksanggul, 1972-1978.

Lalu selama 17 tahun melayani sebagai Guru Huria (Gembala Sidang) Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hutagurgur, Doloksanggul, 1978-1995. Sebenarnya masa kerja seorang gembala sidang dibatasi hanya 2 periode (2 x lima tahun), tapi oleh desakan para anggota jemaat, dia 'dipaksa' melayani sebagai gembala sidang selama tiga periode lebih dua tahun.
Anggota jemaat kemudian merelakan dia pensiun, dengan harapan masih aktif melayani sebagai penetua senior, terutama dalam pelayanan berkhotbah dan sebagai penasihat.

Harapan anggota jemaat ini dipenuhi hingga akhir hayatnya. Sepanjang hidupnya, termasuk setelah dia pensiun sebagai gembala sidang, tidak ada hari yang dilewatkannya untuk beribadah, terutama pada hari kebaktian Minggu. Dalam tiga tahun terakhir, kendati kesehatannya sudah mulai menurun dan kadang kala penyakit asma yang dideritanya kambuh, setiap hari minggu dia selalu tampil sehat, apalagi bila saatnya dia bertugas melayani sebagai pengkhotbah.

Seringkali anggota jemaatnya kuatir jangan-jangan dia tidak mampu naik turun podium manakala tampil sebagai pongkhotbah. Tetapi apa yang dikuatirkan tidak pernah terjadi. Bahkan dia masih mampu bersuara nyaring setiap kali berkhotbah kendati hari Sabtu, sehari sebelumnya, dia masih tergolek lesu di tempat tidur akibat penyakit asmanya kambuh. Tak jarang anggota jemaat meneteskan air mata manakala mendengar dia berkhotbah.

Dia memang seorang yang sangat bersahaja, bahkan sangat sederhana. Sangat sabar, nyaris tak pernah marah. Dia sangat tidak senang mendengar seseorang membicarakan keburukan orang lain. Menurut, pengakuannya, sejak kecil hingga masa tuanya, dia tak pernah mau berkelahi, kendati dia sering disakiti orang lain. Dia tidak pernah mau menjadi serigala, melainkan dia selalu ingin menjadi anak domba di antara serigala.

Kepada putera-puteri dan cucu-cicitnya, dia selalu mengajarkan agar hidup bersahaja dan selalu bergantung pada Tuhan. "Saya tidak mewariskan harta kepada kalian. Tapi saya mewariskan firman Allah, agar kalian tetap bertekun dalam kebenaran firman Allah," pesannya.

Hidup Kembali
Banyak kisah menarik sepanjang hidupnya. Salah satu di antaranya adalah kisah kematiannya ketika berusia lima tahun (1933). Kala itu dia jatuh sakit dan dinyatakan meninggal lebih 18 jam. Pagi subuh dia sudah ditangisi ibunya Sofiana Boru Purba, karena sudah menghembuskan nafas terakhir. Tiada lagi nafas dan denyut nadi. Ayahnya, Raja Kores Simanullang, juga menangis histeris, karena putera kesayangannya meninggal dunia.

Maklum, cukup lama Raja Kores dan Sofiana menunggu kelahiran putera pertamanya ini. Tumpak baru lahir setelah empat kakak perempuannya duluan lahir. Bagi orang Batak, putera (laki-laki) adalah penerus garis keturunan. Maka ketika ucok Tumpak lahir, Raja Kores dan Sofiana, mengadakan pesta besar dengan memotong sapi (sigagat duhut), mengundang raja adat marga dan bius di Sihutinghuting, Saitnihuta, Doloksanggul. (Dalam tradisi adat Batak, terutama kala itu, tidak sembarangan memotong lembu (sigagat duhut) manakala anak lahir. Itu harus persetujuan raja adat dan bius. Hal ini juga punya konsekwensi bagi penyelenggara hajatan, yakni dalam hajatan-hajatan berikutnya, misalnya pernikahan dan adat meninggal dunia, harus lebih tinggi dari sebelumnya).

Maka ketika Tumpak, anak kesayanganya itu, meninggal, Raja Kores dan Sofiana sangat bersedih. Semua keluarga dan kerabat datang menangisi jenazah putera kesayangannya itu. Lonceng gereja juga dibunyikan pertanda kematiannya. Peti matinya juga dibuat lengkap dengan kain kafannya, sengaja dipilih kain kafan yang terbaik kala itu (1933).

Saat semua keluarga dan kerabat menangisinya, Sang Ayah Raja Kores Simanullang, justru masuk ke bilik rumahnya: Berdoa dan membaca Alkitab. Kepada kerabat yang melayat, dia menyatakan anaknya tidak akan mati. "Dia akan hidup kembali," teriaknya histeris, berulang-ulang. Sementara Sang Ayah terus berdoa dan membaca Alkitab. Raja Kores punya Alkitab Perjanjian Baru yang disalin dengan tulisan tangannya sendiri.

Namun, orang-orang sekitarnya mengira Sang Ayah sudah gila: Bibelon! (Istilah bagi orang yang dianggap gila karena terlalu banyak membaca dan salah memahami Bibel). Karena dianggap sudah gila, Sang Ayah malah sengaja sempat dikunci dalam biliknya sendirian. Sudah gila. Bibelon!

Lalu saat Sang Ayah sendirian berdoa di biliknya, semua acara pemakaman, layaknya seorang anak berusia lima tahun meninggal, sudah dilakukan. Namun belum bisa dikebumikan, selain dilarang oleh Sang Ayah, juga karena ada permintaan Sang Ibu untuk menunggu Amangborunya (Suami dari kakak perempuan Sang Ayah) yang tinggal di Pakkat Dolok. Amangborunya (Marga Purba) ini sangat sayang dan dekat dengan si bocah Tumpak. Amangborunya, kala itu, tidak sedang berada di rumah (kampung). Sehingga, sampai pukul 15.00 WIB, masih belum dimakamkan, tapi didengar kabar, Amangborunya sudah akan segera datang.

Beruntung, belum dimakamkan. Ketika Sang Ayah bangkit dari bilik kesendiriannya, dia meminta dibukakan pintu, lalu menghampiri puteranya Tumpak yang terbaring kaku di peti mati dalam balutan kain kafan, sambil menatap dan menengadahkan tangan ke atas berdoa: "Tuhan Jesus, bangkitkan puteraku, seperti Lazarus!"

Tiba-tiba mata si bocah Tumpak berkedip. Lalu menatap Sang Ayah yang berdiri di hadapannya dan Sang Ibu yang menangis tersedu di sampingnya. Sang Ayah mengangkat, memeluk dan menciuminya, seraya berulang-ulang memuji kebesaran Tuhan. Puji Tuhan! Haleluya!

Suasana pun menjadi gempar. Ini mujizat. Tumpak dibangkitkan dari mati. Raja Kores ternyata tidak gila, tidak bibelon. Upacara pemakaman (kematian) berubah menjadi sukacita (kebangkitan dari mati). Raja Kores pun melantunkan kidung rohani berulang kali, diikuti oleh semua hadirin: Sai Solhot tu SilangMi (Pada Kaki SalibMu).

Sementara, Amangborunya yang ditunggu-tunggu, tiba dengan dua bungkus roti marie di tangannya. Dari kejauhan, dia sudah menangis meraung-raung. Tetapi tangisannya tiba-tiba berhenti manakala dia saksikan keponakannya (paramaannya), Tumpak, sudah hidup kembali dalam pelukan iparnya (Raja Kores).

Kisah ini nyata di tengah masyarakat Saitnihuta, Doloksanggul. Tumpak pun kemudian sehat walafiat dalam pengasuhan kedua orangtuanya. Sebelum Tumpak menjadi guru, dia sempat mengikuti Sang Ayah, berdagang garam. Kala itu garam diambil dari Barus menapaki jalan terjal lewat Pakkat. Saat itu, Tumpak masih memakai kain kafannya, yang dijadikan celana dan kemeja. Kala itulah kain kafan itu rusak. Sementara peti matinya sudah sejak hari pertama dibakar, bersamaan lubang kuburnya ditimbun (diuruk) kembali hingga rata.

Tumpak pun tumbuh sebagai seorang anak dan remaja yang diasuh dalam balutan pengalaman relijius. Dia dibawa pindah oleh Sang Ayah dari Saitnihuta ke Desa Hutagugur saat berusia 10 tahun. Di sini dia bertumbuh menjadi remaja dan dewasa. Kedatangan keluarga Raja Kores di desa ini bukan atas kehendak yang direncanakan, tetapi demi menegakkan kebenaran. Kala itu, enam keluarga saudara dekat semarga, pomparan (keturunan) Ompu Raja Panuturi, diusir dengan fitnah begu ganjang (dukun santet) dari kampung itu. Tapi Raja Kores menduga ada iri hati dan maksud terselubung untuk mengambil-alih semua harta kekayaan enam keluarga, saudaranya itu.

Raja Kores yang berdomisili di desa lain, tidak rela saudara-saudaranya diperlakukan seperti itu. Dia berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan pengusiran tak manusiawi kepada saudara-saudaranya itu. Tapi dia tidak kuasa membendung kemarahan penduduk setempat yang memaksakan: Mereka harus pindah!

Dalam suasana kalut seperti itu, Raja Kores selalu berdoa untuk tampil di depan membela kebenaran. Dia dengan bijak melaporkan hal itu kepada penguasa (pendudukan Belanda) dan bermusyawarah dengan penetua dan penduduk setempat. Dia minta agar keselamatan saudara-saudaranya terjamin. Lalu, dia pun membekali segala keperluan kepindahan saudara-saudaranya ke Sidikalang, hingga mereka juga bisa memiliki rumah dan tanah di tempat baru itu. Sepadan dengan itu, saudara-saudaranya pun menyerahkan hak kepemilikan dan penguasaan semua harta, terutama tanah, peninggalan mereka di kampung itu. (Saudara-saudaranya hidup makmur dan tenteram di Sidikalang, keturunannya ada yang jadi pendeta, pejabat, dokter dan lain-lain).

Sepeninggal saudara-saudaranya, Raja Kores sangat memahami posisinya yang masih baru dan 'sendirian' di kampung itu. Dia tidak mau diperlakukan seperti saudara-saudaranya. Maka dia meminta pemerintah turun tangan, memberi jaminan atas keberadaannya di kampung itu.

Pada awalnya, keluarga Raja Kores, nyaris dikucilkan dalam pergaulan sehari-hari dan adat di kampung itu. Namun Raja Kores dan keluarga serta para pekerjanya semakin tekun bekerja dan melakukan kebaktian di Rumah Bolon (Rumah Batak Besar) yang telah dibangunnya di kampung itu. Nama dusun itu dia sebut Pansinaran na Uli (Diadakan upacara adat untuk peresmian dusun itu). Selain rajin bekerja, dengan puluhan orang pekerja, tiga orang kemudian menjadi menantunya, keluarga Raja Kores pun selalu setia melakukan kebaktian di Ruma Batak itu.

Sampai beberapa tahun kemudian, terjadi paceklik (haleon) di daerah itu. Beberapa penduduk kemudian mendekati keluarga ini. Karena di ladang dan perkampungan keluarga ini banyak persediaan makanan, seperti beras, ubi jalar dan ubi kayu (ketela), gundur dan jelok (labu) dan berbagai jenis buah-buahan lainnya.

Mula-mula mereka datang pada acara kebaktian yang secara berkala setiap pekan diadakan di Ruma Batak (rumah tanpa bilik). Setiap selesai kebaktian selalu diadakan jamuan makan. Peserta kebaktian juga boleh mengambil buah tangan berbagai buah-buahan yang ada di pekarangan perkampungan Pansinaran itu. (Sebagaimana lazimnya kala itu, dibangun tembok pembatas ditanami pohon dan bambu sekeliling perkampungan).

Keluarga ini membawa suasana relijius baru di kampung itu. Kala itu masih banyak yang belum mengenal Kristus di daerah itu. Sebagian besar masih menganut kepercayaan animisme, agama tradisi Batak (Parmalim)  dan sebagian beragama Islam. (Pada tahun 1972, di bagian sudut tertinggi, bukit, dusun Pansinaran, kemudian berdiri bangunan gereja GKPI di mana Guru Tumpak menjadi gembala sidang selama 17 tahun).

Di rumah keluarga yang baru datang ini, secara berkala dilakukan kebaktian (partangiangan). Banyak orang yang mengenal Kristus melalui kebaktian di rumah keluarga ini. Termasuk gadis remaja Ame Nurianna br Situmorang, puteri seorang saudagar Tumbur Situmorang/Br Simanullang, seorang Parmalim yang kala itu sempat menganut  agama Islam, yang kemudian dipersunting Tumpak menjadi isterinya.

Keluarga Saudagar Tumbur Situmorang (Ompu Marolop) ini mendiami dusun Parmonangan yang bertetangga dengan dusun Pansinaran. Keluarga Saudagar Situmorang, yang rumahnya bertangga semen, ini kemudian menjadi sahabat dekat keluarga Raja Kores. Sampai akhirnya, Tumpak, putera Raja Kores menikah dengan Ame Nurianna, puteri Saudagar Tumbur Situmorang, tahun 1950. Dikaruniai 12 anak (7 putera, dua meninggal masih anak-anak, dan lima puteri).

Dalam suasana itulah Tumpak diasuh menjadi manusia relijius yang nyaris tak pernah berpikir tentang harta kekayaan duniawi, sampai dia mencapai usia 80 tahun.

Saurmatua
Guru Tumpak, panggilan akrab dari rekan-rekannya, Ompu Mangatur Doli, Gelar masa tuanya, meninggal dengan tenang dalam pelukan isterinya Ame Nurianna Br Situmorang (Gelar Ompu Mangatur Boru), Kamis 17 Januari 2008 pukul 09.30 WIB.  Meninggal saat dirawat lebih satu bulan di RSU Doloksanggul akibat penyakit asma. Saat dia meninggal, keturunannya berjumlah 61 orang, termasuk dua orang cicitnya yaitu satu nini bernama Asasira (cucu dari putera pertamanya) dan satu nono bernama Daniel (cucu dari putri pertamanya). Cicitnya (nini) baru lahir di Jakarta tanggal 18 Desember 2007, persis satu bulan sebelum dia meninggal.

Upacara pemakaman, sesuai dengan pesannya, lebih banyak diisi upacara kebaktian. Antara lain kebaktian (kesaksian) keluarga, dan kebaktian umum. Acara kebaktian (kesaksian) keluarga berlangsung khidmat diwarnai iringan Ende 449 Sai Solhot tu SilangMi dan Kidung Jemaat 368 Pada Kaki SalibMu. Juga kebaktian oleh Jemaat Gereja HKBP Hutagurgur dan kebaktian oleh Gereja Kristen Potestan Indonesia pada Minggu siang 20 Januari 2008. Serta kebaktian pelepasan di gereja GKPI Hutagurgur (21 Januari 2008), di mana dia bertugas selama 17 tahun sebagai gembala sidang (guru huria).

Kemudian dimakamkan di Pemakaman Keluarga Ompu Robinson Binsar Halomoan di Desa Hutagurgur, Kecamatan Doloksanggul, Kebupaten Humbang, Provinsi Sumatera Utara, pada Senin 21 Januari 2008.

Selain diisi upacara kebaktian gereja, upacara pemakamannya juga diisi upacara Adat Saurmatua dengan Gondang Sabangunan dipadankan seruling dan musik tiup (musik modern). Upacara kebaktian dan adat saurmatua ini berlangsung dari Kamis 17 Januari s/d Senin 21 Januari 2008 di Dusun Pansinaran, Desa Hutagugur, Doloksanggul. Upacara ini termasuk singkat dibandingkan lazimnya upacara adat saurmatua lainnya di Tapanuli, yang sering kali harus selama tujuh hari. ►ti/rbh

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Selasa, 04 Oktober 2011

Biograpi Bung hatta

Biografi Mohammad Hatta

<p>Your browser does not support iframes.</p>
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.


Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

Berikut Biodata dari Mohammad Hatta

Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)

Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902

Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980

Istri : (Alm.) Rahmi Rachim

Anak :

* Meutia Farida
* Gemala
* Halida Nuriah

Gelar Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI tahun 1986

Pendidikan :

* Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
* Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
* Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
* Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)

Karir :

* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
* Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
* Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
* Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
* Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
* Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
* Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
* Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
* Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949)
* Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
* Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
* Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
* Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
* Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)

Referensi :
- http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=22
-
http://www.ghabo.com/gpedia/index.php/Mohammad_Hatta
77
Dapatkan Update Biografi Terbaru Dari Blog ini! Dengan memasukkan alamat email Anda di bawah ini, maka Anda akan mendapatkan update Biografi terbaru dari Blog ini.

Perubahan Pertama UUD 1945

Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan Pertama UUD 1945, adalah perubahan pertama pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999.
Perubahan Pertama menyempurnakan pasal-pasal berikut:

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Pasal 5

(1) Presiden memegang kekuasan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat.
diubah menjadi
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

[sunting] Pasal 7

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
diubah menjadi
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

[sunting] Pasal 9

Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
Janji Presiden (Wakil Presiden):
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa". 1)
diubah menjadi
(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
Janji Presiden (Wakil Presiden):
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa". 1)
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.

[sunting] Pasal 13

(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Presiden menerima duta Negara lain.
diubah menjadi
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

[sunting] Pasal 14

Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
menjadi
1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat

[sunting] Pasal 15

Presiden memberi gelaran, tanda dyasa dan lain-lain tanda kehormatan.
menjadi
Presiden memberi gelar tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.

[sunting] Pasal 17

2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3. Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan.
menjadi
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

[sunting] Pasal 20

1. Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakiln rakyat.
2. Jika sesuatu rantjangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat, maka rantjangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu.
menjadi
1. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
3. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
4. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

[sunting] Pasal 21

1. Anggota-anggota Dewan Perwakilan rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang.
2. Jika rancangan itu, meskipun disetudjui oleh Dewan Perwakilan rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu.
menjadi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.

[sunting] Pranala luar

DAFTAR PRESIDEN INDONEIA

Daftar Presiden Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lambang Presiden Republik Indonesia
Bendera Presiden Republik Indonesia
Indonesia
Coat of Arms of Indonesia Garuda Pancasila.svg
Artikel ini adalah bagian dari seri:
Politik dan pemerintahan
Indonesia


Pancasila
UUD 1945



Negara lain · Atlas
 Portal politik
Berikut merupakan daftar Presiden Indonesia.. Presiden Republik Indonesia adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia.
Lembaga kepresidenan Indonesia dibentuk pada 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memilih Sukarno sebagai presiden pertama Indonesia.
# Presiden Mulai menjabat Selesai menjabat Partai Wakil Presiden Periode
1 Soekarno Soekarno.jpg 18 Agustus 1945 19 Desember 1948 PNI Mohammad Hatta 1
Syafruddin Prawiranegara
(Ketua PDRI)[1]
Sjafrudin prawiranegara.jpg 19 Desember 1948 13 Juli 1949 Nonpartisan Lowong
Soekarno 13 Juli 1949 27 Desember 1949 PNI Mohammad Hatta
Soekarno
(Presiden RIS)[2]
27 Desember 1949 15 Agustus 1950 PNI Lowong
Assaat
(Pemangku Sementara
Jabatan Presiden RI)
[2]
Assaat PYO.jpg Nonpartisan
Soekarno 15 Agustus 1950 1 Desember 1956 PNI Mohammad Hatta
1 Desember 1956 22 Februari 1967 Lowong
2 Soeharto
(Pejabat Presiden)[3]
President Suharto, 1993.jpg 22 Februari 1967 27 Maret 1968 Golkar
Soeharto 27 Maret 1968 24 Maret 1973 2
24 Maret 1973 23 Maret 1978 Hamengkubuwana IX 3
23 Maret 1978 11 Maret 1983 Adam Malik 4
11 Maret 1983 11 Maret 1988 Umar Wirahadikusumah 5
11 Maret 1988 11 Maret 1993 Soedharmono 6
11 Maret 1993 10 Maret 1998 Try Sutrisno 7
10 Maret 1998 21 Mei 1998 Baharuddin Jusuf Habibie 8
3 Baharuddin Jusuf Habibie Bacharuddin Jusuf Habibie official portrait.jpg 21 Mei 1998 20 Oktober 1999 Golkar Lowong
4 Abdurrahman Wahid President Abdurrahman Wahid - Indonesia.jpg 20 Oktober 1999 23 Juli 2001 PKB Megawati Soekarnoputri 9
5 Megawati Soekarnoputri President Megawati Sukarnoputri - Indonesia.jpg 23 Juli 2001 20 Oktober 2004 PDIP Hamzah Haz
6 Susilo Bambang Yudhoyono Susilo Bambang Yudhoyono official presidential portrait 2009.jpg 20 Oktober 2004 20 Oktober 2009 Partai Demokrat Muhammad Jusuf Kalla 10
20 Oktober 2009 Sedang menjabat Boediono 11
Legenda
PresidenRI per 2009-2014.png

[sunting] Catatan kaki


Pergantian tampuk pimpinan
pemerintahan Indonesia.

  1. ^ PDRI dibentuk setelah ibukota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat agresi militer. Pembentukan PDRI sendiri sebenarnya memang diamanatkan dalam telegram yang dikirimkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kepada Syafruddin, walaupun telegram itu tidak pernah sampai ke tangannya.
  2. ^ a b Berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar, Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) di mana Republik Indonesia merupakan salah satu negara bagiannya. Karena Soekarno dan Hatta diangkat menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka Assaat diangkat sebagai "Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia". Jabatan ini berakhir ketika RIS kembali ke bentuk negara kesatuan (Republik Indonesia).
  3. ^ Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang "Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno" dikeluarkan pada tanggal 12 Maret 1967, tetapi berlaku surut sejak 22 Februari 1967.

[sunting] Referensi


[sunting] Pranala luar